Cerpen Keroyokan (Mega)

Mendung tak Selalu Kelabu
(Mega)

"Wah hari ini aku ada jadwal ngampus, duh bakalan sekelas sama dia." kata Mega. Mega selalu khawatir bila sekelas dengannya. "Aku suka mata kuliah hari ini, tapi kalau ada dia tuh, ehhmm, jadi blank semua." gumam Mega sambil merapikan jilbab pashminanya. Tersenyum sambil memakai sedikit bedak tipis di pipi putihnya. Tak lupa dia menyiapkan tas dan buku-buku yang akan digunakan untuk kuliah nanti.

Sampai di kampus, Mega bercengkrama dengan sahabat dekatnya, mereka berbincang tentang tugas yang diberikan oleh dosen mereka. 

"Deg...deg...deg!" 

Tiba-tiba hati Mega berdebar entah kenapa ketika sosok itu melintas. Ada rasa yang berbeda-beda. "Ih, kenapa sih ini?" tanya Mega pada dirinya sendiri.

"Mega...ga....ga!" panggil Santi, sahabatnya. "Eh, bengong ya. Ditanyain dari tadi diem aja."

"Ah, masa sih?" elak Mega.

Ingatan Mega terjerembab ke hari dimana mereka kali pertama bertemu. Rinai hujan tipis membasahi malam yang kian merambat gelap. Rapat BEM kali ini agak alot. Satu per satu anggota rapat telah meninggalkan Gedung Mahasiswa yang terletak di belakang Fakultas Kedokteran. Namun ojek yang Mega pesan tidak jua datang. "Duh, bisa kemalaman nih sampai rumah," gumam Mega.

"Astaghfirullahaladziiimm!!!" teriak Mega kencang. Samar-samar Mega melihat bayangan hitam di atas lemari yang berada di ruang rapat tadi. Lututnya lemas seketika. Ia menutup mata sambil membaca doa-doa. Beberapa detik kemudian ia buka sebelah mata untuk melihat apakah bayangan tersebut masih ada atau telah pergi. Ternyata dia makin mendekat! Mega hampir menangis melihat sosok hitam tersebut telah berada dua meter di balik pintu kaca yang memisahkan mereka.

Braaaakk!!!

"Kyaaaaa!" sambil berlutut, ia menutup mata dan telinga, berharap ini hanyalah mimpi buruk.

Mega tersadar dan mendapati telah berada di sebuah ruangan yang asing.

"Dimana ini?" tanyanya lirih. 

"Tenang Mega, kamu di Rumah Sakit Bambang Sucipto dekat kampus. Sudah istirahat lagi ya." Suara berat dan berwibawa itu memintanya kembali tidur dan merapikan selimut. Sementara pertanyaan-pertanyaan berkelana di pikiran Mega. Semakin keras ia mengingat apa yang terjadi, semakin berat kepalanya. Mega mengalah dan mengikuti perintah dari suara yang ia pun tak yakin mengenalinya.

Akhirnya Mega pun terlelap.

============================

Ke esokan paginya.

"Aaaarrrrrrhhhhhh!!! Tidak! Jangan mendekat!" 

Mega tiba-tiba terbangun dan berteriak dan tak sadarkan diri kembali.
"Mega, kamu kuat. Kamu bisa melawannya, kamu bisa bangun. Banyak yang nunggu kamu disini Mega."
Lelaki yang sejak di rumah sakit selalu menemani Mega, menenangkannya dari mimpi buruknya. Lelaki berwajah teduh dan bersuara berat.

Samar terdengar suara yang serasa tak asing bagi Mega. Dengan sekuat tenaga ia berusaha membuka kelopak mata namun terasa berat. Lalu, Mega kembali ke waktu itu dimana ia tidak ingin sama sekali mengingat kejadian itu. 

"Aaaaaaaa, tolong!!! Hentikan, tolong jangan sakiti aku, lepaskan aku!"
Mega berteriak sekencang mungkin namun langkah kakinya semakin dekat menghampirinya dan melayangkan sebuah pukulan keras ke tubuh Mega dan ia pun jatuh tersungkur.

Napas Mega memburu begitu cepatnya, dan ia mendengar suara lelaki yang sedang memanggil-manggil namanya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Mega..Mega... Kamu kenapa Mega? Bangun Mega!" 

Mata Mega sontak terbuka, melihat sekelilingnya dan mendapati seorang lelaki dengan paras tampan, yang sepertinya wajah itu tak asing dan ia kenal. Mega masih memandangi wajah itu, mendengarkan suaranya dengan saksama, namun ia tak menemukan jawabannya, ia tak berhasil mengingatnya. Lalu, siapakah lelaki itu?

Lelaki tampan berwajah teduh dan bersuara berat terus menatap Mega dengan penuh rasa kasih. Dia membicarakan banyak hal yang tak bisa Mega tangkap sepenuhnya. Mega tenggelam dalam pikirannya, berusaha menyelami dan mencari kepingan ingatan akan lelaki itu. 

"Mega... Megaa... Megaaa...." panggil lelaki itu.

"Megaaaaaaaa.... Aku lapar temani aku ke kantin yuk." panggil seorang lelaki dengan manja. 

"Enggak ah, aku harus mengulang hafalanku nih, setelah ini kan kita akan ada quiz." balas Mega. 

"Aaahh Megaaaahhhh, sebentaar aja, kok, kamu pasti bisa jawab semua soalnya deh, aku yakin, kan Megaku cerdas." goda lelaki itu sambil membujuk Mega. Mega pun akhirnya menuruti kemauan lelaki itu dan pergi menemaninya. Ada perasaan nyaman, hangat dan terlindungi berada disampingnya. 
"Yang terakhir sampai kantin, traktir ya." lelaki itu pun berlari dan meninggalkan Mega.
"Deviiiiinnnnnnnnnnnn!!!" teriak Mega.

Mega merasa malas untuk berlari mengejar Devin. Ia masih terpaku dengan apa yang terjadi di rumah sakit dan terbayang laki-laki yang menemaninya saat itu. Siapakah dia? Mengapa wajahnya terasa tidak asing baginya? Lalu, kemanakah dia? Saat membuka mata kembali dia sudah tidak ada dan berganti wajah Devin yang hanya cengar-cengir di hadapan Mega. 
"Mega... Mega di sini." Mega mendengar teriakannya memanggil namanya sambil melambaikan tangan. Mega pun berjalan ke arahnya lalu duduk satu meja dengannya untuk makan dengannya.

Perlahan Mega membuka suara dan mencoba menanyakan yang terjadi saat di rumah sakit kepada Devin. 
"Vin, waktu di RS kamu melihat seseorang yang menemaniku?"

"Hmmm, aku enggak lihat siapa-siapa. Kamu masih tidak sadarkan diri saat aku datang, memangnya siapa yang kamu maksud?"

"Ah...tidak mungkin aku hanya bermimpi, ya sudahlah ayo makan, pesanan kita sudah datang". Mega memang pingsan lagi, tapi ia yakin ada yang menemaninya saat itu. Mega berusaha mengingat-ingat kembali hari itu tapi tetap saja ia tak dapat mengingat siapa laki-laki itu.

"Huh...." Mega menghela nafas.

"Kenapa, Ga?" tanya Devin.

"Ah...tidak apa-apa... Sudah, ayo makan, karena kita masih ada kelas setelah ini."
Mega melanjutkan makan bersama Devin dan mencoba berhenti sejenak untuk memikirkannya.

Dalam hatinya, Mega ingin "dia" yang datang. Tapi mana mungkin, dia adalah laki-laki dingin yang pernah Mega kenal. "Aku pernah berpapasan dengannya ketika selesai shalat Dhuha di Masjid kampus tapi dia hanya menunduk tak melihatku." gumam Mega. "Aku hanya penasaran kenapa ada lelaki seperti itu menyapa wanita ya hanya mengangukkan kepala, bila menanyakan soal kegiatan kampus dijawab hanya sekadarnya saja, itu pun tak pernah ku terima balasan pesan di malam hari, paling-paling pagi baru dibalasnya, ih aneh banget ini orang, tapiiii...."

"Woi...Mega! Hayuk buruan keburu datang dosennya!" kata Devin membuyarkan lamunannya. "Dah ayo sini aku bayarin dulu deh..." lanjut Devin.

"Enggak usah, Vin, bayar sendiri-sendiri aja." kata Mega. 

Devin sudah terlanjur berjalan ke kasir, Mega bersiap-siap kembali ke kelas sambil menyiapkan uang untuk mengganti uang Devin. Mereka bergegas menuju kelas di lantai dua ketika berjalan di tangga, ada seorang lelaki berjalan menaiki tangga pula dengan langkah mantap dan semangat. 

"Oh ya ampun...dia juga baru mau ke kelas" kata Mega dalam hati.

"Assalamualaikum..." sapanya kepada Devin dan Mega. 

"Ih tumben banget ini orang, apa karena ada Devin ya dia mau nyapa?" kata Mega dalam hati. 
Setelah itu dia jalan mendahului kami menuju kelas. 
"Eh kamu kenapa Mega kok jadi salting gitu sih?" tanya Devin. Mega tersipu malu dan pura-pura membuang pandangannya. 

"Kalau kamu mau deket sama dia susah tau, hahahaha, ngobrol sama cewek aja gak pernah, kan waktu itu ada yang ngajak kenalan dia gak mau tuh salaman sama cewek" kata Devin meledeknya.

============================

Sejak saat itulah perasaan Mega selalu tak menentu jika bertemu. Seperti rindu yang berat, tercampur oleh rasa takut yang pekat. Cinta? Ah, sepertinya tidak sesederhana itu, Fernando! Memang, kehilangan sosok ayah sejak kecil, menjadikan Mega wanita yang rapuh dan mudah terbuai oleh perhatian pria. Tapi nyatanya hal itu jarang terjadi. Boro-boro pacar, teman yang ia punya saja bisa dihitung dengan jari. Sifat Mega yang penakut dan terlihat murung membuat pria manapun malas mendekat. Apalagi Mega bisa tiba-tiba tak sadarkan diri dengan alasan yang ia pun masih mencari. 

Mega mengenal Santi saat mereka berdua dihukum oleh senior ketika ospek berlangsung dan menjadi dekat karena Santi pun termasuk orang yang malas bergaul. Sedangkan Devin, satu-satunya pria yang ada di lingkaran Mega, adalah teman masa kecilnya yang bisa dibilang seperti sosok kakak yang melindungi sekaligus menjahili. Bahkan Devin dengan otak encernya, rela masuk ke jurusan yang sama dengan Mega: Desain Komunikasi Visual. Lalu, jika Devinlah satu-satunya teman laki-laki yang ia punya, lalu siapakah pria yang menemaninya di RS? Mega dibuat kesal oleh dirinya sendiri yang memiliki ingatan sangat pendek.

========================

Akbar. Lelaki cool yang selalu santun terhadap semua orang, aktivitasnya kalau enggak di masjid, ya paling ke perpustakaan. Jarang Mega melihatnya berkerumun dengan teman-teman apalagi berbaur wanita dan pria. 
"Ah ngapain juga aku mikirin dia!" kata Devin. Devin memang kadang iri terhadapnya karena ternyata banyak yang kagum akan sosoknya entahlah apa yang dilihat dari dirinya. "Aku harus gimana ya biar Mega takluk kepadaku?" gumam Devin. 

Devin memahami perasaan Mega bahwa mereka hanya berteman biasa tak lebih dari itu tapi Devin ingin Mega menjadi kekasih hatinya. 

Gawai Devin berbunyi.

"Halo...Vin lagi apa say?" suara lembut seorang wanita menyapa di seberang sana. Devin tergugup menjawab.

"Emm, maaf siapa ya?" tanya Devin.

"Hei, Vin, kamu jahat ih, masa gak ngenalin suara aku? Ini aku, Ghina." balas wanita diujung gawai Devin.

Ghina, teman kecil Devin yang katanya sudah dijodohkan dengan Devin sejak mereka masih dalam kandungan. Tetapi Devin tak menyetujui perjodohan itu, entah apa alasannya. Ghina wanita berparas ayu, bertubuh semampai dan anggun dibalik balutan hijabnya, mampu menaklukkan dan membuat penasaran pria manapun, tapi tidak dengan Devin.

Sementara Devin berbincang di gawainya, Mega mulai merasakan pusing yang sangat hebat, seketika jantungnya berdebar bersamaan padamnya listrik di gedung kampus. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin deras membasahi dahi dan tubuhnya. Mega mulai panik dan merasa cemas. Ia pun tak sadarkan diri setelahnya.
Lagi-lagi Mega berakhir diruangan bersih dan dipenuhi dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat. Mega mendengar namanya disebut, lalu ia mencari asal suara itu. 

 "Nycthopobia, ini yang diderita oleh anak perempuan Bapak." kata Dokter.

"Nycthopobia? Apa mungkin dia bisa sembuh dok?"

"Bisa kok Pak, Bapak tidak perlu khawatir, insya Allah."

Samar-samar Mega mendengar suara orang membicarakannya dan mendengar bahwa ia mengalami nyctophobia.
"Apa itu? Aku sama sekali belum pernah mendengarnya. Bapak...siapa yang dimaksud anak Bapak? Apa itu aku?
Lalu pria ini mengapa bilang aku adalah anaknya, apa dia ayah? Bukankah aku tidak memiliki ayah, lalu siapa dia yang mengaku-ngaku sebagai ayahku?" Mega berusaha sekuat tenaga untuk membuka mata dan melihat ada pria berjas putih di sana yang wajahnya ia kenal, ya..dialah pria itu yang waktu itu ia lihat namun tak sempat ia kenali karena keburu pingsan lagi.
Hah? Dia ternyata dokter di RS ini.

"Mega, kamu sudah sadar?" tanya Dokter dengan lembut.

"Ah..iya, Dok? Saya kenapa yaa? Apa saya pingsan lagi? Terakhir yang saya ingat adalah mati lampu di kampus, trus sekarang saya ada di sini?"

"Iya, kamu pingsan. Kamu mengalami nyctophobia."

"Apa itu, Dok?" Mega bertanya kepada dokter tampan itu sambil terus berpikir tentang wajahnya yang begitu familiar baginya.

"Rasa takut akan gelap."

"Hehehe...kaya lagunya Tasya aja takut akan gelap." Mega menjawab sambil tertawa.

Dokter tampan itupun tersenyum ke arahnya, dan Mega coba melihat ke samping dokter ada pria paruh baya yang ikut tersenyum pula, tapi ia menatapnya dengan sedikit tatapan sinis, karena barusan ia mendengar dokter ini menyebut kata bapak, sedangkan jelas Mega merasa tidak punya bapak.

"Oh iya Mega, saya sudah jelaskan kondisi kamu semua ke Ayah kamu, jadi nanti beliau bisa menjelaskan lebih detail ke kamu, atau kamu kalau mau bertanya lebih detail lagi ke saya nanti akan saya jelaskan, tapi tidak sekarang karena saya masih ada pasien yang harus saya kunjungi."

"Ayah...saya enggak punya ayah, Dok, pria ini siapa? Ayah saya sudah meninggal sejak saya kecil."

Dokter tampan itu kaget namun pria itu tampak tenang, dan berusaha memberi penjelasan.

"Saya akan jelaskan ke Dokter nanti, tapi saat ini saya ingin bicara dengan anak saya dulu." ujar pria separuh baya itu.

"Oh..baiklah kalau begitu, Pak, saya permisi dulu, sampai nanti Mega."

"Uhh..tampan sekali dokter itu, ayolah ingatanku kembali muncul. Tapi apakah dia juga mengenaliku seperti aku berusaha mengingatnya?" namun, pria itu tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Mega, ini Ayah, maafkan Ayah karena baru sekarang berani menemuimu."

"Saya tidak mengenal Anda. Anda siapa?"

"Ayah tidak berani menemuimu karena Ayah telah berperilaku buruk terhadapmu dulu, Ayah berusaha menyingkirkan mu dulu dengan mengurungmu di gudang yang gelap, saat itu pun kamu pingsan, dan ayah tidak jadi melakukannya karena ayah tidak bisa. Lalu ayah pergi dan tidak pernah menemuimu lagi, ternyata kejadian itu berdampak buruk bagi masa depanmu sehingga mengalami trauma berat seperti ini. Maafkan Ayah, Mega. Ayah menyesal." Pria itu terus bercerita sehingga membangkitkan ingatan Mega kembali akan hari itu. Yang membuatnya ingin memukul pria itu namun Mega tak bisa, lalu ia hanya bisa teriak.

"Keluar! Aku enggak mau melihat mukamu lagi, keluar sekarang, jangan ganggu hidupku lagi! Pergi!" Mega berteriak sekencang mungkin sehingga suster datang dan menyuruh pria yang mengaki ayahnya keluar ruangan. Disusul dengan Devin yang kebingungan karena Mega begitu histeris, lalu dia memeluknya untuk berusaha menenangkan. "Mega, sudah tenang yaa, kamu tenang yaaa."

Mega menangis di dalam pelukan Devin yang kurasa begitu hangat, dia adalah sahabat yang selalu ada saat Mega membutuhkannya.

Lalu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan dokter tampan itu melihat Mega sedang dipeluk Devin, membuatnya agak sedikit canggung melihat mereka. Mega berusaha melepaskan pelukan Devin begitu juga Devin yang melepaskan tangannya dari bahu Mega.

Suasana canggung terasa sekali setelah dokter itu datang. Terlihat jelas di raut wajah Devin, kalau ia tidak menyukai dokter itu. Tapi Mega tak mempedulikannya karena pikirannya sibuk mengingat, apakah ia mengenal dokter itu atau tidak. Dokter muda berparas tampan dan bertubuh atletis dan sepertinya umurnya tidak jauh berbeda darinya. Ketika dia mendekat memeriksa Mega lebih lanjut segera mata Mega tertuju pada ID card yang menggantung dilehernya. Asisten Dokter, Agung Gunawan, terpatri di kartu pengenalnya.

Agung...Gunawan, nama itu tak asing tapi Mega enggak bisa mengingatnya. "Mega, masih berat kepalanya? Masih pusing? Mega? Ga?" panggil Agung pada Mega.
Mega pun tersadar dari lamunannya dan tergagap menjawab, "Mmh, eh, oh iya sedikit berat dan pusing." jawabnya.
"Oke, nanti saya minta suster untuk menambah obat sakit kepala dan nanti malam setelah jam makan malam Dokter Hadi akan mengunjungimu bersama saya." 
"Baik, Dok." kata Mega cepat. 

"Baik Mega, habiskan makananmu ya, dan kasih tahu ya kalau tanganmu gemetar lagi, sampai nanti malam Mega." lanjut dokter itu dan kemudian berlalu pergi. 
"Gemetar lagi? Bagaimana dia tahu bahwa tanganku sering gemetaran?" batin Mega.

"Dokter! Ada yang ingin kutanyakan." seru Mega sebelum ia berjalan terlalu jauh.

Dr. Agung pun mendekat, "apa itu Mega?"

"Apa terjadi sesuatu dengan saya? Kenapa saya sulit mengingat sesuatu. Seperti ada awan hitam menyelimuti ingatan saya. Kenapa saya bisa menjadi sangat takut pada kegelapan? Dan...dan..."

"Hari-harimu terasa berat? Muram? Dan merasa lemas tak bertenaga?" potong Dr. Agung diikuti anggukan kepala Mega tanda setuju.

"Saya punya solusinya." ujar Dr. Agung santai sambil mengulum senyum. Tiba-tiba dari belakang punggung Dr. Agung muncul sesosok pria yang mengaku sebagai ayah Mega dengan membawa cairan berbuih berwarna merah muda dalam gelas besar. Ia menyodorkan gelas tersebut kepada Mega.
"Mega, ini..." ujarnya dengan suara bergetar.

"Cut!" teriak seseorang yang duduk dengan kursi lipat di seberang ranjang.
"Pak, tolong jangan gugup dan hapalkan dialognya ya, Pak. 'Minumlah! Dan rasakan kesegaran Mega Mendung Super Joy! Hilangkan kelabu dan ciptakan warnamu!' Gitu ya, Pak!" sang sutradara memberi arahan.

"Eeh, Mega Mendung Super Jos?" tanya pemeran "Ayah Mega yang Hilang" itu ragu-ragu.

"Joy, Pak, Joooyy... Je-O-Ye. Aduhduh... Mega juga ekspresinya tolong dikendalikan ya. Keliatan itu di kamera hidung kamu kembang kempis. Eh si Devin mana? Etdah! Siap-siap, dong! Inget enggak dialognya?" omel sang sutradara.

Devin yang berada di balik tirai rumah sakit buatan itu pun muncul sambil mengulang dialognya, "Minuman khas Indonesia kini hadir dalam kemasan yang praktis dan berkualitas. Mau harimu bebas kelabu? Minum, Mega Mendung Super Joy!" seru Devin lengkap dengan gerakan tangan yang lincah.

"Bang, masa saya cuma kebagian sekelebat item sama numpang lewat doang?" potong pemeran Akbar.

"Astaghfirullah! Kaget gue, Akbar! Akbar, Ghina, Santi, istirahat dulu. Kita kelarin bagian Mega yang ingatannya udah moncer dan ketemu Bapaknye dulu yee. Entar iklan bagian kedua elu-elu pade muncul semua kisahin awan cintanya Mega. Cieee. Gimana ini gue ngomong sendiri, cie sendiri." sang sutradara tak henti merepet ketika Mega mulai tak sadarkan diri.

"Woi! Kok malah tidur? Mulai lagi yaa... Mega Mendung Super Joy! Mendung tak selalu kelabu, mega mendung ya merah jambu. Cieeee. Etdah! Camera, rolling, action!"

Mega membuka mata siap menerima minuman penyegar dari sang Ayah yang diam-diam telah ditaburi bubuk putih.

Komentar

Postingan Populer